top of page
Search
  • Writer's pictureArtana Diva Syabilla

"Lovely Man" (2011): Sebuah Kisah Keluarga Tak Biasa


Hari ini saya coba melarikan diri sejenak dari hiruk pikuk skripsi dengan menonton film. Walau, sebenarnya setiap hari pun saya memang melarikan diri dari skripsi. Plus, saya sudah bertekad untuk tidak menonton film apapun hingga skripsi saya selesai. Namun, hari ini lain. Sebenarnya sudah berbulan-bulan yang lalu saya memang lain, tapi alangkah baiknya tidak saya ceritakan lain-nya itu kenapa. Hehe.


Siang ini, ketika saya sedang scroll tiktok, aplikasi milik Tiongkok yang sekarang jadi sumber haha-hihi segala umat, saya menemukan ada satu konten rekomendasi film yang membuat saya penasaran. Tapi, seperti biasa, demi menaikkan engagement, si kreator enggan menulis judulnya. Ya... tapi memang berefek sih buat saya. Saya jadi kepo dan mencari judulnya di kolom komentar. Sampailah jemari saya pada aplikasi junjungan para milenial, Netflix, tadi sehabis maghrib untuk menonton film berjudul Lovely Man ini.



Singkat saja ya, karena hal ini sebenarnya bisa di-google sendiri.


Lovely Man dirilis oleh sineas berprestasi asal tanah air, Teddy Soeriaatmaja, yang berhasil menggapai Busan International Film Festival di tahun 2011 dan ditayangkan untuk umum pada Mei 2012, dimana saat itu tema utama film ini masih tabu bagi sebagian besar masyarakat. Bercerita tentang hubungan ayah-anak yang tidak harmonis dan tidak sejalan namun mencoba saling melengkapi dengan kekurangannya, film ini terbilang salah satu film kontroversial di eranya. Maka dari itu, film ini dipaksa turun dari layar lebar oleh si putih-paling-berani. He he he....


Sejujurnya, saya jarang terbawa emosi oleh suatu film. Terlebih karena saya memang tidak terlalu ingin terbawa alur, juga saya tidak ingin filmnya jadi pikiran saya ke depannya. Naluri sebagai anak sastra, kalau habis nonton tuh bawaannya ingin dianalisa dengan teori sesuai dengan pemahaman dan pesan yang ingin disampaikan di film itu. Tapi untuk film ini, saya benar-benar tidak bisa membendung kekaguman saya. Maka, tulisan ini benar-benar ekspresi dari perasaan kagum itu.


Berikut adalah kesan saya:


Berbicara soal tokoh dan penokohan, Teddy ingin menampilkan dua aktor terbaik yang saling melengkapi kekurangannya pada film ini. Saya bisa bilang kekurangan, karena kedua tokoh ini memang menonjolkan keunikannya dan tidak melebih-lebihkan karakternya masing-masing. Semua terasa jujur dan lugu bagi saya. Pun ide dari pembuatan film ini, seperti yang dikutip dari Wikipedia (hehe) juga keren! Teddy sudah terpikirkan ide untuk film kontroversial ini sejak tahun 2003 dan direalisasikan 8 tahun kemudian.


Sang bapak, Saiful alias Ipuy, digambarkan memiliki badan yang kekar sebagai kesan bahwa ia adalah kuli bangunan dan lelaki tulen. Kerasnya hidup dan prinsip yang ia pegang membuatnya berkecimpung pada dunia malam yang sangat beresiko bagi dirinya. Walau Ipuy lebih memilih untuk meninggalkan keluarganya dan memilih jati dirinya sebagai transgender, Ipuy tidak pernah lari dari tanggung jawabnya sebagai bapak, dibuktikan dengan konsistensi Ipuy mengirim uang untuk menyekolahkan buah hatinya, Cahaya, selama 15 tahun atau hingga Cahaya hingga lulus SMA. Ipuy juga digambarkan sebagai sosok yang arif bijaksana bagi Cahaya. Pada beberapa adegan, Ipuy berusaha menasehati secara halus dan tanpa menggurui atau menyakiti hati anaknya.


Cahaya, anak semata wayang Ipuy, tinggal di kampung yang saya pikir masih berada di sekitaran Ibukota dikarenakan jarak tempuhnya tidak memakan waktu lama untuk sampai ke tempat ayah kandungnya. Cahaya dibesarkan dengan baik oleh sosok ibunya, digambarkan dengan manisnya perilaku dan hati yang ia miliki pada setiap dialognya. Walau Cahaya tumbuh di lingkungan yang sangat agamis, ia seperti kehilangan arah karena absennya sosok ayah dalam hidupnya. Ipuy merupakan seorang anak yang tidak hanya memiliki pemikiran yang dewasa, namun juga memiliki pemikiran yang terbuka. Hal ini merupakan hal yang agak mencengangkan terutama bagi saya, menimbang lingkungan tempat ia tinggal selama ini sangat konservatif. Ah sudahlah...



Sehingga, tujuan Cahaya ingin menemui Ipuy adalah untuk mengisi kekosongan hati yang Cahaya rasakan selama 15 tahun. Ia masih menggenggam memori manis dari foto berdua dengan sang ayah, dan memori hujan-hujanan yang samar ia miliki. Pada awal cerita, Cahaya berkali-kali menegaskan kepada Ipuy bahwa ia sama sekali tidak membutuhkan uang atau apapun, hanya ingin menuntaskan dorongan naluri seorang anak perempuan yang rindu pada ayahnya dan ingin meminta nasehat baik tanpa celaan terkait masalah yang ia miliki.



Saya menemukan bahwa hubungan yang mereka miliki adalah unconditional love, dimana Cahaya berusaha menerima bahwa sosok ayah yang ia cari ternyata transgender dan Ipuy juga menerima kenyataan bahwa ia gagal membesarkan anak semata wayangnya dan berusaha menebusnya. Dari sosok matanya ketika mengetahui Cahaya ternyata mengandung bayi, saya tahu bahwa Ipuy kecewa. Orang tua mana sih, yang tidak kecewa jika anaknya hamil di luar nikah? Tapi, saya pikir, Ipuy sangat dewasa dan berusaha menerima kenyataan. Ia lebih memilih membimbing dan menasehati Cahaya dibanding memarahinya. Bahkan, Ipuy membesarkan hati Cahaya dan membuat Cahaya percaya bahwa Lukman, pacar Cahaya, benar-benar mencintainya dan tidak akan lari dari tanggung jawab seperti dirinya di masa lalu.


Berbicara dari sisi Cahaya, menurut saya, ia adalah sosok remaja dengan pikiran dewasa. Tentu, untuk menerima bahwa ayahnya bukanlah sosok ayah sesuai yang ia ekspektasikan memang berat. Tapi, Cahaya percaya bahwa hati ayahnya masih sebaik dahulu. Cahaya bahkan rela melepas kerudungnya yang menyimbolkan bahwa ia peduli dengan ayahnya dan berusaha tidak membuat ayahnya malu dan menyalahkan diri sendiri. Adegan lepasnya kerudung Cahaya juga menandakan hilangnya "pembatas" antara hubungan transgender-muslim taat yang dinilai oleh para pemeran figuran sebelah mata. Tidak banyak anak seusia Cahaya yang sedewasa itu pemikirannya.


Selain pada hubungan mereka, saya juga menemukan hal menarik dari bagaimana penceritaan film ini diatur. Duh, nama kerennya, sinematografinya. Saya pribadi menemukan bahwa tone yang digunakan sepanjang film menggambarkan kehidupan kelas bawah yaitu gelap dan kumuh. Selain itu, pada beberapa adegan, layar tampak tak fokus bukan berarti Netlix saya bajakan. Akan tetapi, adegan blur itu menggambarkan bahwa begitulah dunia di luar sana, tidak pasti dan buram. Pencahayaan diatur sedemikian rupa sehingga menonjolkan tekstur karakter, yang entah kenapa, menggambarkan situasi yang apa adanya. Suara music latar yang digunakan tidak berlebihan dan mengandung bawang. Hanya saja ada hal yang agak mengganjal: luka di wajah Ipuy berubah-ubah dan cenderung hilang. Saya termasuk orang yang detail, makanya saya protes: kemana luka yang melintang di hidung Ipuy?!


Film ini juga sangat realistis menggambarkan kondisi Jakarta Pusat di era 2010-an. Kenapa saya tahu shooting-nya di bilangan Jakarta Pusat?! Lihat saja separator jalannya. Unik dan beda. Teddy berhasil menggambarkan kehidupan kelas bawah dengan detail: kondisi rusun yang kumuh, hiruk pikuknya jalanan di malam hari, pedagang asongan yang sok jual mahal kecuali dagangannya dibeli… #WelcomeToJakarta.


Mood saya serasa dibawa naik turun selama film berjalan. Mulanya, saya sangat benci dengan sikap defensif Ipuy menanggapi kedatangan anak kandungnya yang jauh-jauh datang ke Jakarta. Namun, setelah film berjalan separuhnya, pertanyaan-pertanyaan yang ada di benak saya “terjawab” dengan lengkap. Ipuy dan Cahaya masing-masing memiliki alasan mereka sendiri mengapa mereka menjadi seperti itu. Ipuy dengan prinsipnya yang ia pegang erat-erat dan Cahaya dengan luka masa kecil yang ingin ia sembuhkan. Dialog antar tokoh dan gestur mereka begitu mengalir dan natural, sehingga saya terbawa oleh emosi kedua tokoh. Meskipun pada beberapa adegan Donny Damara, pemeran Ipuy, kurang terlihat natural membawakan dialog, tapi saya salut dengan penjiwaan aktingnya menjadi transgender di film ini. FYI, shooting dengan hak tinggi bagi lelaki itu suatu kesulitan tersendiri, lho.


Adegan paling diingat oleh saya, dan kebanyakan orang adalah adegan dimana Ipuy sedang dihabisi oleh kawanan preman namun di belahan Jakarta yang lain, Cahaya sedang melaksanakan shalat shubuh di masjid. Adegan tersebut digambarkan slow motion dengan musik yang sedih. Asliiii, bawang banget adegan itu. Ditambah ada adegan ‘sudah jatuh, tertimpa tangga pula’ yang dialami Ipuy yang sedang babak belur dan lemas. Dari sana, saya benar-benar disadarkan bahwa hal tersebut pasti pernah terjadi entah dimana. Adegan itu sampai saya putar 2x karena saya benar-benar merasa ditampar kenyataan… kenyataan bahwa transgender dimanapun itu selalu dilihat sebelah mata, dihina, dan dipojokkan. Padahal, pasti ada alasan di balik pilihan para transgender tersebut yang akhirnya memilih untuk mencari nafkah dari sana. Seperti kata Ipuy, “pekerjaan ini lebih menghasilkan uang daripada gue jadi supir”. Hidup memang keras, bung.


Pilihan mereka memang berat. Menjadi transgender yang hidup di lingkungan agamis dan konservatif merupakan hal yang berat dan mereka sadar akan hal itu. Tapi, mereka kan sama-sama manusia seperti kita. Bisakah kita lebih menghargai sesama manusia dan pilihannya?


Begitu kira-kira kesan yang saya dapat ambil dari film berdurasi satu jam ini. Intinya adalah, kita tidak bisa memilih siapa yang akan menjadi keluarga kita. Kita disatukan oleh “keluarga”, oleh garis keturunan, dan dari darah yang sama. Namun, kita harus bisa saling jaga dan saling sayang. Itulah keluarga. Mereka mendengarkan tanpa mencela, menyayangi tanpa syarat, dan menerima tanpa minta balas kasih. Cinta yang dimiliki keluarga, yang direpresentasikan oleh kisah Ipuy dan Cahaya ini, adalah cinta tanpa syarat.


Sebenarnya, masih banyak pesan moral yang bisa diambil dari film ini. Namun, saya sedang ingin membahas soal keluarga saja. Biar sesuai judul hehehe. Kalau kalian punya pendapat atau kesan lain terhadap film ini, boleh banget komentar di bawah!


Terima kasih ya sudah membaca.

Saya harap kalian semua dalam keadaan sehat & bahagia selalu.


31 views0 comments
Post: Blog2_Post
bottom of page