top of page
Search
  • Writer's pictureArtana Diva Syabilla

Analisa Perilaku Tokoh Antagonis dalam Legenda "I Laurang Manusia Udang" Menurut Psikoanalisis Freud



I. Pendahuluan

Cerita anak menurut Nurgiyantoro (2005) merupakan cerita yang disajikan untuk anak-anak maupun orang dewasa, yang sarat akan nilai-nilai moral untuk membangun karakter sejak dini. Cerita anak dibuat dengan alur yang mudah dan dekat dengan kehidupan sehari-hari supaya anak-anak lebih mudah memahaminya. Penulis cerita anak tidak harus orang dewasa, namun juga dapat ditulis oleh anak-anak. Menurut Sarumpaet (2009), Terdapat beberapa jenis cerita anak, diantaranya adalah fabel yaitu cerita hewan, epik yaitu cerita kepahlawanan, biografi tokoh terkenal, komik, dan cerita tradisional. Menurut Hutomo (1991), cerita tradisional atau cerita rakyat sendiri merupakan cerita yang berkembang di masyarakat dan merupakan perwakilan budaya di daerah tersebut. Terdapat beberapa jenis cerita tradisional atau cerita rakyat, diantaranya dongeng, mitos, fabel, dan legenda.

I Laurang merupakan cerita legenda yang berasal dari suku Bugis, Sulawesi Selatan. I Laurang, yang merupakan manusia berparas setengah udang, dibesarkan oleh kedua orang tua kandungnya yang telah lama mengidamkan kehadiran seorang anak. Semasa kecilnya, I Laurang yang fisiknya buruk rupa, terpaksa dibesarkan di tempayan berisikan air dikarenakan malu dan dikucilkan oleh lingkungannya. Seiring waktu berjalan, I Laurang beranjak dewasa dan menjadi pemuda yang berbakti pada kedua orang tuanya, serta cerdas. Walaupun tidak dapat berjalan dan pergi ke luar rumah dikarenakan kakinya terbungkus oleh kulit udangnya, ia mengetahui banyak informasi termasuk ketujuh putri yang tinggal di istana dari kedua orang tuanya. Singkat cerita, akhirnya I Laurang berhasil memikat putri bungsu raja dan berubah menjadi tampan. Sejak saat itu, I Laurang lebih diterima oleh lingkungannya dikarenakan perubahan fisiknya, hingga menimbulkan konflik antar-persaudaraan putri raja yang berlomba-lomba ingin membunuh putri bungsu sehingga dapat menikahi I Laurang yang tampan.

Terdapat hal yang menarik untuk dianalisa dalam cerita legenda ini, yaitu bagaimana lingkungan dimana I Laurang tinggal menyikapi penampilan fisik I Laurang. Dalam teori Psikoanalisis Freud di bukunya yang berjudul A General Introduction To Psychoanalysis, kepribadian seorang manusia itu terbagi oleh tiga unsur yaitu id, ego, dan superego. Id merupakan naluri dasar manusia untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Id mencari kesenangan dan menghindari kesusahan atau kesedihan, dan terletak di alam bawah sadar manusia. Sementara, ego merupakan akal sehat dan realita yang berada di ambang batas kesadaran manusia, yang berfungsi sebagai penyaring id berdasarkan kenyataan yang terjadi. Sementara, superego adalah tolok ukur moralitas. Unsur ini menilai mana hal yang baik dan yang buruk, sehingga berada dalam kesadaran manusia.


II. Metode Penelitian

Analisa cerita anak legenda ini menggunakan pendekatan psikologis dengan teori Psikoanalisis Sigmund Freud, dengan elemen-elemen tokoh dan penokohan, latar tempat, waktu, dan suasana sebagai bahan analisa. Elemen-elemen ini mencerminkan kondisi sosial dan psikologis masyarakat yang tinggal di tempat I Laurang berada, termasuk juga cara orang tua I Laurang dalam membesarkan I Laurang. Kedua orang tua I laurang, masyarakat sekitar, dan putri-putri raja merupakan fokus utama dari penelitian ini, dikarenakan mereka merupakan tokoh antagonis yang memiliki pandangan tersendiri terhadap I Laurang. Teknik pengumpulan data dalam analisa ini yaitu menggunakan metode membaca cermat, atau close-reading. Membaca cermat berarti juga menggaris-bawahi poin-poin penting dan menganalisanya berdasarkan teori. Sementara, teknik analisis data menggunakan teknik deskriptif kualitatif.


III. Pembahasan

Sepasang suami istri tersebut putus asa dikarenakan belum jua dikaruniai anak, sehingga alam bawah sadarnya atau dalam kasus ini id dari sang istri, menginginkan seorang anak bagaimana pun bentuk dan caranya.

“Ya Tuhan, karuniakanlah kepada kami seorang anak, walaupun hanya berupa seekor udang!” (paragraf 2)

Sehingga, ketika Tuhan mengaruniakan sepasang suami-istri tersebut seorang anak, mereka sangat bersyukur. Terdapat nada kekecewaan ketika mengetahui anaknya lahir dengan bentuk yang tak lazim, seperti pada paragraf ke-3. Sang istri, terutama, yang menginginkan seorang anak, “terkejut” mengetahui bahwa realitanya, I Laurang mengidap cacat. Namun, superego dari kedua orang tua I Laurang-lah yang membuat I Laurang dibesarkan. Superego yang mengatakan bahwa bagaimanapun bentuk dari I Laurang, ia tetaplah darah daging dari pasangan tersebut sehingga mereka “merawat I Laurang dengan penuh kasih sayang” dan juga “memasukkannya ke dalam sebuah tempayan yang berisi air” (paragraf 4). Hal ini dikarenakan, secara logika, udang hidup di air, dan harus dirawat supaya tetap hidup. Merawat I Laurang juga merupakan representasi dari baiknya moralitas atau kualitas dalam perbuatan kedua orang tua I Laurang. Dalam paragraf lainnya juga disebutkan bahwa meskipun I Laurang tidak dapat berjalan ke luar, namun ibunya menceritakan tentang kejadian atau peristiwa yang terjadi di luar, yang menandakan bahwa kedua orangtua I Laurang menyayangi I Laurang meskipun mengidap kelainan.

“Ha, dengan putri raja! Sungguh berat permintaanmu, Nak” kata ayahnya dengan terkejut.

“Benar, Nak! Mana mungkin raja berkenan menerimamu sebagai menantunya dengan kondisi tubuhmu seperti ini” kata ibunya.

Dari percakapan ini, kita dapat melihat bahwa ayah dan ibu I Laurang sangat realistis, berpegang pada kenyataan bahwa mereka hanyalah rakyat kecil dan fisik I Laurang yang tidak memenuhi kualifikasi untuk menjadi pangeran kerajaan. Terdapat konflik antar tokoh, yaitu bentroknya id, ego, dan nilai benar-salah yang dianut oleh kedua belah pihak. Menurut I Laurang, id atau hasrat ingin menikahi putri raja adalah benar menurut superegonya walaupun tidak mengindahkan realitanya. Sementara, menurut kedua orang tua I Laurang, permintaan anaknya tersebut adalah hal yang salah dan bertabrakan dengan ego, meski setelah didesak berkali-kali, akhirnya kedua orang tuanya menuruti hasrat anaknya.

Ketika I Laurang akhirnya bertransformasi menjadi tampan setelah keluar dari cangkangnya, seketika itu juga I Laurang menjadi lebih diterima oleh masyarakat, terutama oleh kedua orang tuanya.

“Wah ternyata kamu tampan dan gagah, anakku!” seru ibunya dengan takjub ...

“Putri bungsu pasti akan senang sekali mempunyai suami setampan kamu nak” ujar ayah ...

Walaupun kejadian ini di luar nalar dan ego kedua orang tuanya, setidaknya ekspektasi dan pandangan mereka terhadap I Laurang pun berubah. Juga, antara ego dan superego berkoordinasi menjadi suatu nilai baru bagi I Laurang yang kini diterima dikarenakan fisiknya yang sudah menyerupai manusia. Begitu juga lingkungan di sekitar I Laurang yang pada akhirnya menerima I Laurang, yang terbukti pada kutipan “... berbeda dengan berita yang mereka dengar bahwa I Laurang itu buruk rupa seperti udang”. Kutipan tersebut menandakan bahwa saat wujudnya dahulu masih seperti udang, I Laurang dikucilkan dan dianggap melanggar norma akibat perwujudan superego yang ada pada masyarakat. Sehingga pada akhirnya, masyarakat itu merupakan perwujudan dari id yaitu mereka yang hanya ingin melihat kesenangan, dan menghindari keburukan.


IV. Kesimpulan

Dalam cerita I Laurang Sang Manusia Udang, terdapat banyak norma masyarakat perwujudan dari superego yang dapat dijadikan tolok ukur untuk menilai sang tokoh protagonis. Sementara, id orang tua I Laurang dan masyarakat sekitar lah yang berkuasa untuk membentuk norma ini berkembang. Ego disini berfungsi sebagai latar suasana masyarakat Bugis yang sarat akan norma dan nilai-nilai masyarakat. Ketiganya saling mempengaruhi, sehingga terciptalah reaksi yang hampir sama ketika menghadapi kenyataan bahwa I Laurang buruk rupa kemudian berubah menjadi seorang pemuda yang tampan.

Referensi

Freud, Sigmund. (2012). A General Introduction To Psychoanalysis. United Kingdom: Wordsworth Edition Ltd.

Puspitasari, Putri Dyah W. (2016). Kepribadian Tokoh Utama Viktor Lavenz Dalam Roman Die Therapy Karya Sebastian Fiztek: Teori Psikoanalisis Freud. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

Sarumpaet, Riris K. Toha. (2010). Pedoman Penelitian Sastra Anak. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Semiun, Yustinus. (2006). Teori Kepribadian & Psikoanalitik Freud. Yogyakarta: Kanisius.

502 views0 comments

Recent Posts

See All
Post: Blog2_Post
bottom of page