top of page
Search
  • Writer's pictureArtana Diva Syabilla

Analisa "The Steadfast Tin Soldier" Karya H.C. Andersen Melalui Perspektif Toxic Masculinity



I. Pendahuluan

Menurut Nurgiyantoro (2005), cerita anak adalah cerita yang ditujukan bagi semua umur, terkhusus anak-anak, yang bertujuan untuk menanamkan moral dan kebaikan sejak dini. Baik orang dewasa, maupun anak-anak dapat menulis cerita anak. Cerita anak ditandai dengan alurnya yang sederhana, dan konfliknya yang tidak kompleks. Cerita anak dibagi menjadi beberapa jenis menurut Sarumpaet (2009), yang diantaranya adalah fabel, epik, biografi, komik, atau cerita rakyat. Cerita rakyat menurut Hutomo (1991) merupakan cerita yang turun temurun berkembang di masyarakat. Cerita rakyat terbagi menjadi empat jenis, diantaranya adalah mitos, fabel, legenda, dan dongeng.

The Steadfast Tin Soldier merupakan salah satu dongeng terkenal asal Denmark, yang kemudian diterjemahkan dan dipublikasikan oleh Hans Christian Andersen ke dalam berbagai bahasa. Dongeng ini berkisah tentang sebuah prajurit timah yang memiliki cacat, yaitu kakinya hanya ada satu. Ia diceritakan mencintai putri balerina yang tinggal di istana bersama mainan anak yang lain. Prajurit itu merasa tertarik dikarenakan kaki balerina pun hanya satu, karena sebelah kakinya yang lain diangkat sehingga berpose seperti menari. Namun, ada sebuah mainan yang sangat jahat yang menghalangi usaha prajurit timah, hingga tega mencelakai prajurit timah. Walau ia sempat terpisahkan akibat ulah mainan jahat dan pergi berpetualang ke dunia luar, pada akhirnya prajurit tersebut kembali ke rumah pemiliknya. Akhir yang tragis bagi prajurit timah, karena ia tidak sengaja terlempar ke perapian akibat ulah dari mainan jahat itu lagi. Namun, putri balerina melihat tangisan prajurit timah dan ikut terbakar dan melebur menjadi satu di perapian, sehingga ketika apinya padam, mereka menjadi bentuk hati kecil yang terbuat dari leburan timah.

Dalam kisah ini diceritakan sifat prajurit timah yang tabah dan tetap tegar walaupun mengalami banyak cobaan. Hal ini disebabkan prajurit timah tersebut adalah seorang prajurit laki-laki yang harus tetap menjaga dirinya dan martabatnya dimanapun ia berada. Maka, hal yang menarik disini adalah adanya salah satu unsur toxic masculinity yaitu mistik maskulin dalam sifat tokoh prajurit timah. Menurut Stephanie Coontz seorang sejarawan, mistik maskulin adalah kondisi dimana seorang lelaki harus melupakan perasaannya dan menutupi kekurangannya. Hal ini membuat lelaki tidak dapat leluasa mengungkapkan apa yang mereka rasakan, tidak seperti kaum wanita. Apabila mereka melanggarnya, maka lumrah bagi mereka untuk diejek, dipermalukan, dan dihina. Padahal, menurut The National Alliance of Women, pria ternyata berpotensi dua kali lebih besar daripada wanita dalam mengalami stress dan trauma akibat menahannya perasaannya.


II. Metode Penelitian

Pada analisa dongeng ini, penulis menggunakan pendekatan feminisme dengan teori mistik maskulin, dengan unsur intrinsik tokoh, penokohan, dan penggunaan simbol serta unsur ekstrinsik konflik batin tokoh prajurit timah sebagai fokus dari analisa dalam pembahasan. Unsur-unsur ini akan menguak adanya mistik maskulin yang terdapat pada tokoh utama, yaitu prajurit timah. Teknik pengumpulan data dalam analisa ini yaitu menggunakan metode close-reading dengan mencari poin-poin penting dan menggunakan teori sebagai landasan diskusi dan analisa. Setelah itu, dalam menganalisa unsur-unsur ini, digunakan teknik deskriptif kualitatif.


III. Pembahasan

Tokoh utama, sang prajurit timah, digambarkan memiliki kekurangan diantara 24 teman lainnya. Ia hanya memiliki satu kaki. Namun, ia digambarkan sebagai tokoh yang menjunjung tinggi sifat prajurit lelaki yang diharuskan sigap dan tegap, walaupun ia hanya sebuah mainan. Ia sangat menjunjung tinggi prinsip ketertiban sehingga dalam pemilihan judul, pengarang memilih menggunakan kata steadfast yang sangat mendeskripsikan karakter prajurit timah.

Prajurit timah, dapat kita simpulkan, tidak diterima di lingkungannya sendiri karena ia berbeda. Bukan hanya berbeda secara fisik, namun sifat dan prinsip mereka pun jauh berbeda. Seperti pada tahap eksposisi cerita, ketika prajurit yang lain “..rattled about in their box, for they wanted to play too, but they could not get the lid open.”, prajurit timah tetap menjaga etikanya sebagaimana prajurit di dunia nyata, tidak bertingkah berlebihan dan berbicara seperlunya. Seorang prajurit tidak seharusnya menggerutu atau mengoceh, dan itulah yang tertanam di dalam pikiran prajurit timah. Hal tersebut yang membuat prajurit timah istimewa, namun tersiksa oleh belenggu mistik maskulin yang ia tanamkan dalam prinsipnya.

Ketika mainan jahat yang disebut sebagai Boogey-man mencelakai prajurit timah dengan menjatuhkannya dari jendela di lantai tiga rumah pemiliknya, prajurit timah dicari oleh pemilik dan pembantu rumah tersebut, namun prajurit timah memilih diam, seperti pada kutipan “...but he thought it contemptible to raise an uproar while he was wearing his uniform.”, ia tidak berani meminta tolong, meski tersirat bahwa prajurit timah ketakutan dan tidak ingin dilupakan. Sebab dari hal itu adalah ia tidak boleh berteriak dan mengekspresikan ketakutannya karena ia adalah lelaki, terlebih ia menggunakan seragam prajurit. Bahkan, pemilihan kata contempible yang berarti penghinaan menyiratkan bahwa apabila seorang prajurit lelaki meminta tolong dan ketakutan, hal tersebut merupakan penghinaan.

Kemudian, ketika prajurit timah hanyut di selokan bermodalkan perahu kertas yang rapuh, ia sempat beberapa kali merasa pusing dan terombang-ambing, namun, “..he stood as steady as ever. Never once flinching, he kept his eyes front, and carried his gun shoulder high.”, yang mengindikasikan bahwa dalam situasi terburuk yang dapat mengancam nyawanya—meskipun ia hanya mainan—tetap prajurit tersebut berdiri tegak walaupun sangat sulit. Kekurangannya tidak mematahkan prinsipnya sama sekali, padahal arus di selokan tersebut sangat deras. Juga, ketika ia telah sampai pada muara selokan dan menuju ke saluran air yang lebih besar lagi, ia tetap berusaha tegap, seperti digambarkan pada kutipan “The poor tin soldier stood as staunch as he could, and no one can say that he so much as blinked an eye.” Ia, meskipun tahu bahwa ia sedang menghadapi hal buruk dan sedang menuju ke hal yang lebih buruk, namun tetap setia berdiri menopang badannya dengan satu kakinya. Prajurit timah, pada titik paling terdesaknya, masih tidak mengungkapkan emosi dan ketakutannya, yang dapat kita simpulkan sebagai puncak dari mistik maskulinitasnya. Tentunya, makhluk normal lainnya akan berteriak atau menangis sebagai coping mechanism-nya, ironisnya, prajurit timah masih berpegang teguh pada prinsip maskulinnya.

Terdapat dua baris lagu lawas yang dikutip ketika prajurit mulai tenggelam di saluran air besar, yaitu “Farewell, farewell, O warrior brave / Nobody can from Death thee save.”. Bila dianalisa secara formalis, titik ini merupakan fase klimaks dari dongeng ini. dimana, sebenarnya prajurit timah sudah pupus harapan hidupnya, juga sedih karena mengetahui ia akan selamanya kehilangan putri balerina impiannya. Dalam hatinya, prajurit merasa terpuruk dan hancur, meskipun ia terus berusaha tegar dan setia terhadap prinsipnya sebagai tentara. Komplikasi dari mistik maskulin adalah stress dan trauma mendalam akhirnya dirasakan oleh prajurit timah pada tahap ini.

Akan tetapi, meskipun ia telah mengalami perjalanan panjang dan cobaan yang bertubi-tubi, prajurit tersebut tidak bangga dengan pencapaiannya, seperti yang dijelaskan pada kutipan “Everyone wanted to see this remarkable traveler who had traveled abot in a fish’s stomach, but the tin soldier took no pride in it.”. Hal ini bisa juga diartikan sebagai fase keputusasaan yang dialami oleh prajurit. Sebelum mengetahui bahwa ia ternyata kembali lagi ke rumah pemiliknya dimana putri balerina menunggunya, ia sudah berada di titik dimana ia tidak peduli dengan perasaannya—ia hanya ingin menjadi seorang mainan prajurit yang menaati prinsip sebagai seorang prajurit.

Pada kutipan “...that he would have cried tin tears, only soldier never cry.” secara jelas menggambarkan bahwa sebenarnya prajurit timah pun hanyalah sebuah mainan yang memiliki perasaan layaknya mainan normal lainnya, namun ia tetap terbelenggu pada keyakinannya sehingga ia menahan tangis dan emosinya yang digambarkan sebagai tin tears, atau air mata yang terbuat dari timah—simbol dari keteguhan hatinya selama ini saat menghadapi cobaan yang bertubi-tubi.

Simbol lain juga disebutkan yaitu splendid colors. Hal ini merujuk pada harapan, kebahagiaan, dan emosi prajurit timah yang hilang begitu saja, sesaat setelah api membakar tubuhnya. Dalam menemui masa-masa terakhirnya, prajurit timah tetap berdiri tegap dengan satu kaki, dan dengan gagahnya memegang senjatanya seperti tidak sedang mengalami rasa tersiksa akibat sekujur tubuhnya terbakar. Hal ini juga menyimbolkan bahwa akhirnya, bukan hanya badannya saja yang melebur, namun perasaannya pun juga. Setelah telah lama berjuang untuk menjadi prajurit yang setia, pada akhirnya, prajurit tersebut terbakar oleh mistik maskulin yang ia anut.


IV. Kesimpulan

Dalam kisah The Steadfast Tin Soldier, penulis menganalisa tokoh dan penokohan, simbol, dan pergolakan batin yang dialami oleh prajurit timah. Berdasarkan hasil analisa dan diskusi, prajurit timah mengalami mistik maskulin yang mengharuskan ia tetap tegap, setia, dan mengedepankan loyalitas dengan statusnya sebagai prajurit mainan. Pada akhirnya, toxic masculinity yang ia rasakan menjadi bumerang, sehingga mengakibatkan kehancuran akibat pergolakan dengan batinnya sendiri. Prajurit timah sudah terlalu lama menahan perasaannya sehingga pada akhirnya meledak dan melukai dirinya sendiri.


Referensi

Holloway, Kali. (2015). Toxic masculinity is Killing Men: The Roots of Male Trauma. Alternet.

Reitzel, C. A. (1838). Fairy Tales Told for Children: New Collection, 1st Booklet.‘The Steadfast Tin Soldier. Copenhagen.

Sarumpaet, Riris K. Toha. (2010). Pedoman Penelitian Sastra Anak. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

111 views0 comments

Recent Posts

See All
Post: Blog2_Post
bottom of page